Senin, 21 Maret 2011

SEJARAH KOTA MAKASSAR ( Edward L.Poelinggomang )


Makassar adalah keterangan atau predikat nama tempat yang dikenal lebih dahulu dari penyebutan untuk bandar niaga kerajaan kembar Gowa dan Tallo, yang dalam perkembangannya menyandang nama Kerajaan Makassar. Dalam naskah kuna Majapahit (Jawa), Negara Kartagama yang ditulis oleh  Mpu Prapanca pada tahun 1364, Makassar telah disebut, disamping nama Luwu, Bantaeng, dan Selayar. Nama tempat yang disebut Makassar itu belum dapat diidentifikasi hingga sekarang. Selain itu dalam tradisi pelaut dan pedagang yang berniaga ke Maluku menyebut kawasan pulau-pulau berada di utara Pulau Sumbawa dengan nama Makassar. Tradisi penyebutan pulau-pulau itu kemudian diserab oleh pelaut dan pedagang Portugis setelah merebut dan menduduki Malaka. Dalam catatan Tome Pires diungkapkan bahwa pedagang-pedagang Melayu menginformasikan bahwa terdapat jalur paling singkat dalam pelayaran ke Maluku yaitu melalui Makassar (Cortesao, 1944). Tampaknya informasi itu mendorong pelaut dan pedagang Portugis melusuri jalur pelayaran itu, sehingga dalam peta pelayaran pengembara Portugis Pulau Kalimantan diberi nama “Pulau Makassar yang Besar” (Gramdos ilha de Macazar) dan Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dengan sebutan “Pulau-pulau Makassar” (Ilhas dos Macazar). Selain penyebutan nama Makassar untuk pulau-pulau itu, kota-kota pelabuhan yang berada di pesisir barat Sulawesi yang menjadi tempat singgah dalam pelayaran ke Maluku juga diberikan predikat Makassar, antara lain Siang Makassar, Bacokiki Makassar, Suppa Makassar, Sidenreng Makassar,  Napo Makassar dan Tallo Makassar.
Informasi menyangkut penyebutan Makassar yang meliputi wilayah yang luas itu, dalam perkembangan kemudian dimatereikan menjadi nama bandar niaga kerajaan Gowa dan Tallo (Sombaopu dan Tallo) dua bandar yang secara historis baru tumbuh kemudian setelah beberapa pelabuhan lain, seperti: Siang, Bacokiki, Suppa, Napo, dan Sidenreng. Sehubungan dengan itu topik pembicaraan dalam menelusuri sejarah kota Makassar, pertama-tama diarahkan untuk menelusuri latar sejarah penamaan bandar niaga yang kini mengemban nama Makassar. Setelah itu diungkapkan proses kesejarahan kedudukan Makassar sebagai kota niaga. Dengan demikian kiranya dapat dipahami mengapa penyebutan nama kota Makasaar mengandung makna bagi perkembangan kota ini menuju kotaniaga dunia
Terbentuknya Bandar Makassar
 Informasi kesejarahan yang ditelusuri hanya memberikan gambaran bahwa bandar itu terbentuk dari dua bandar niaga dari  kerajaan kembar Gowa-Tallo, yaitu bandar Tallo dari Kerajaan Tallo yang terletak di pesisir selatan muara Sungai Bira dan bandar Sombaopu dari Kerajaan Gowa yang terletak di pesisir utara muara Sungai Jeneberang. Dua kerajaan tetangga itu berhasil membentuk persekutuan pada tahun 1528, setelah melalui permufakatan penyelesaian konflik (perang). Permufakatan mereka itu dikenal dalam bentuk pernyataan bahwa “ barang siapa yang mengadu-dombakan Kerajaan Gowa dengan  Kerajaan Tallo akan dikutuk oleh Dewata” (ia-iannamo tau ampasiewai Gowa-Tallo iamo nacalla Dewata) (Wolhoff dan Abdurrahman, t.thn: 21; Stapel, 1922: 2; Andaya, 1981: 24). Kesepakatan itu berpengaruh bagi rakyatnya dan semua yang mengenal dua kerajaan kembar itu sehingga muncul ungkapan “satu rakyat, dua raja” (sereji ata narua karaeng). Persekutuan yang dibangun itu bersifat menyatukan dua kerajaan dalam kehidupan kenegaraan tetap mengakui kedudukan kekuasaan masing-masing sebagai raja kerajaan, di samping membentuk satu kesatuan dengan menempatkan raja Gowa sebagai pemegang kendali kekuasaan kerajaan kembar itu (Sombaya) dan raja Tallo sebagai pejabat mangkubumi (Tumabicara Buta). 
Perang yang berakhir dengan pembentukan persekutuan dua kerajaan itu berbasis pada keinginan Kerajaan Gowa untuk mengubah orientasi kehidupan kerajaannya dari agraria ke dunia maritim pada periode pemerintahan raja Gowa IX, Tumaparissi Kalonna Daeng Matanre Karaeng Manguntungi (1510-1546). Kebijakan itu dilaksanakan mengingat semakin banyak arus migran pedagang Melayu ke kawasan ini setelah Malaka diduduki oleh Portugis pada 1511. Sehubungan dengan itu, setelah melakukan persekutuan dua kerajaan itu, yang secara kesejarahan diperintah oleh raja dari keturunan yang sama,[1] melaksanakan perluasan kekuasaan dengan menaklukan kerajaan-kerjaan pesisir dan memaksa mereka untuk melakukan perdagangan dengan bandar niaga Tallo dan Sombaopu.
Kebijakan ini dipandang oleh raja Gowa X, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, Tunipalangga Ulaweng (1546-1565) kurang memberikan peluang bagi kemajuan bandar niaga kerajaan kembar itu. Oleh karena itu dicanangkan kembali tindakan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan pesisir dan kerajaan-kerajaan yang memiliki potensi ekonomi, dengan kebijakan baru yaitu memaksa kerajaan-kerajaan taklukan untuk tunduk dan patuh kepadanya dan mengangkut orang dan barang dari negeri taklukan, khususnya yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim ke bandar negerinya. Kebijakan itu saya sebut sebagai kebijakan makkanama nu mammio (aku bertitah dan kamu menaatinya). Kebijakan ini berakibat bandar-bandar niaga yang berada di pesisir jazirah selatan menjadi sirna, dan hanya ada dua bandar yaitu Tallo dan Sombaopu, namun secara fisik sudah sulit dipisahkan karena wilayah antara dua bandar itu telah menyatu dan tampak menjadi satu bandar yang terbentang dari muara Sungai Bira (Sungai Tallo) hingga muara Sungai Jeneberang yang dipenuh oleh para pedagang dari berbagai bandar niaga yang berpredikat Makassar sebelumnya.
Kenyataan itu yang mendasari para pedagang itu menyebut bandar niaga Tallo dan Sombaopu itu dengan sebutan Bandar Makassar, dan tidak menyebut Tallo Makassar dan Sombaopu Makassar karena keduanya telah menyatu. Sebutan yang sama pula untuk menyebut dua kerajaan kembar yang telah membentuk persatuan itu dengan Kerajaan Makassar, nama yang sama dengan penyebutan bandar niaga mereka. Dalam struktur kerajaan kembar inilah dikenal raja Gowa menjadi raja atau kepala kerajaan dan raja Tallo menjadi mangkubumi atau kepala pemerintahan kerajaan.
Kenyataan kesejarahan itu memberikan petunjuk pada kita bandar Sombaopu dan bandar Tallo menyatu menjadi satu bandar pada periode pemerintah raja Tunipalangga Ulaweng dan mangkubumi Mangaijoang Berang Tunipasuru (raja Tallo). Bila dipertimbangkan setelah dua atau tiga tahun memerintah kemudian melakukan ekspedisi penaklukan selama kurang lebih 5 tahun, maka dapat diperkirakan bahwa setelah 8 tahun memerintah wilayah antara bandar Tallo dan Sombaopu telah dipenuhi oleh penduduk kerajaan taklukan yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim, dan dua bandar itu telah menyatu, dan berkedudukan sebagai satu-satunya bandar niaga di pesisir barat jazirah selatan. Berdasarkan pada perkiraan itu dapat dinyatakan bahwa Bandar Makassar telah terwujud sekitar tahun 1557.
Seiring dengan kebijakan menempatkan dan memusatkan kegiatan pelaut dan pedagang dari kerajaan-kerajaan taklukan pada bandar niaga Tallo dan Sombaopu sebagai satu-satunya pusat niaga, maka kerajaan kembar ini melaksanakan “kebijakan pintu terbuka” (open door policy) dengan menganut prinsip ‘laut bebas” (mare liberium). Kebijakan itu melapangkan para pelaut dan pedagang yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim di kawasan kepulauan ini berdatangan dan memohon izin menetap dan berniaga. Pedagang yang jauh sebelumnya telah menetap dan berniaga di sekitar Sombaopu adalah pedagang Portugis pada tahun 1532 (Erkelens, 1897: 82). Kebijakan penaklukan dan pemusatan kegiatan di bandar Gowa-Tallo itu berdampak pedagang Melayu, yang sebelumnya bermukim di Bandar Siang (Pangkajene – Bungoro) memohon izin untuk menetap dan berniaga di Makassar. Dalam perkembangan kemudian datang pula pedagang-pedagang lain, seperti Belanda (VOC) pada 1603, Inggeris (1613), Spanyol (1615), Denmark (1618) dan Cina (1618). Berkumpulnya para pedagang di bandar ini behasil mneningkatkan statusnya menjadi bandar transito internasional terpenting atau dengan kata lain menjadi kota niaga dunia.
Anthony Reid (1983: 117) yang meneliti dan mengkaji perkembangan perdagangan Makassar sebelum Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669) berkesimpulan bahwa sejarah pertumbuhan perdagangan Makassar menampilkan kisah kemajuan dan keberhasilan yang tiada bandingnya dalam sejarah Indonesia. Bandar Makassar tumbuh dan maju dengan pesat dalam dunia perdagangan, menjadi pusat tujuan niaga bagi semua pedagang yang bergiat dalam dunia perdagangan maritim. Pedagang Eropa dan Timur asing lainnya yang datang berniaga dan menetap di bandar ini merasakan keamanan mereka terlindung dan penuh kedamaian. Itulah sebabnya mereka memaparkan dalam laporan bahwa raja bersikap sangat toleransi dan simpati serta suka memaafkan (Stapel, 1922: 9). Tambahan pula para pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan dikenal sebagai pedagang yang senantiasa menepati janji, suka membantu dan membela orang-orang yang diperlakukan semena-mena (itulah sebabnya mereka dujuluki “Ajam jago kesayangan dari dunia Timur = De hantjes van het Oosten), dan senantiasa berkeinginan memusatkan kegiatan niaga mereka ke Makassar. Itulah sebabnya mereka yang saling konflik di luar senantiasa menampilkan perilaku yang santun dan berdamai serta berdagang bersama di Makassar.
Tantangan bagi Makassar
Kemajuan yang diukir dalam sejarah Kota Makassar ini mulai mengalami kesuraman setelah Perang Makassar (1666-1669). Kompeni (Verenigde Oost-Indie Compagnie, disingkat VOC) yang tampil menjadi pemenang dalam perang itu bergiat mengubah kedudukan Makassar, karena dipandang sebagai nama yang tidak melapangkan kebijakan monopoli perdagangan rempah-rempahnya. Itulah sebabnya setelah usai perang, Speelman tampil dengan rancangan baru mengubah kedudukan bandar niaga yang telah didudukinya itu. Benteng-benteng pertahanan diruntuhkan dan hanya dua benteng yang tetap dipertahankan, yaitu Benteng Sombaopu (pusat pemerintahan Kerajaan Gowa) dan  Benteng Jungpandang dijadikan tempat kegiatan administrasi dan niaga kompeni, yang diganti namanya menjadi Fort Rotterdam. Benteng Somba Opu kemudian mengalami keruntuhan akibat pecah kembali Perang Makassar babakan kedua (1668-1669). Akibatnya hanya tinggal satu benteng yang berdiri megah hingga kini. Selain itu di bagian utara benteng tetap berdiri megah ini dibentuk satu perkampungan pedagang (negorij) yang dinamakan Negorij Vlaardingen. Di tempat inilah para pedagang Belanda menetap dan menjual barang dagangan mereka. Di bagian utara negori ini ditempatkan  pedagang Melayu, sehingga tempat itu disebut Kampong Melayu. Pada bagian timur dibangun istana untuk Arung Palakka, raja Bone, yang dinamakan Bontoala, dan lahan kebun untuk  para pedagang Belanda yang disebut Kebun Kompeni (Compagnie Tuin).Kompeni juga memiliki areal di bagian timur yang disebut Koninksplein (Karebosi) Untuk menjamin keamanan kegiatan berkebun dibangun kemudian sebuah benteng di daerah Patunuang, sebelah timur Koninksplein, yang dikenal dengan nama Fort Vredenberg.
Benteng Jungpandang dibangun dan difungsikan sebagai istana Kerajaan Makassar (Kerajaan Gowa-Tallo). Semua bekas kerajaan taklukan kesutuan kerejaan ini yang datang menunjukan kesetiaanya diterima di Benteng Jungpandang. Tempat bagi kerajaan taklukan untuk menyatakan baktinya adalah Karebosi (Koninksplein =lapangan kerajaan) yang berfungsi sebagai sawah kebesaran (sawah kalompoang) kerajaan Gowa Tallo. Pengambil-alihan benteng dan sawah kebesaran itu sesungguhnya bermakna ingin memecahbelahkan kembali kerajaan Gowa dan Tallo. Hal itu juga merupakan salah satu faktor yang mendasari penataan kota baru setelah penguasaan wilayah itu.
Jika diperhatikan pola pengaturan ini tampak menunjukan bahwa Kompeni, khususnya kebijakan Spelman, bertujuan untuk mensirnakan penyebutan Makassar untuk kota baru yang dibangun itu. Untuk maksud itulah Makassar yang menjadi pelabuhan transito internasional terbesar itu (kota niaga dunia) tidak dijadikan kota pelabuhan dagang melainkan diubah statusnya menjadi pos pengaman kebijakan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Itulah sebabnya bandar ini hanya berfungsi sebagai pelabuhan singgah kapal Kompeni dari Batavia yang berlayar ke dan datang dari Maluku. Nama Makassar tidak tampak dalam rancangan kota baru yang dibangun di atas reruntuhan Kota Makassar. Penyebutan area tempat kegiatan perdagangan dengan nama Vlardingen itu mengindikasikan bahwa Speelman telah menggantikan nama kota itu. Namun hubungan antara para penguasa daerah kerajaan dengan Kompeni berpusat pada Fort Rotterdam, yang di kalangan mereka lebih dikenal dengan nama Jungpandang, maka tampak bahwa kota baru ciptaan Spelman itu dikenal kota Jungpandang.
Dalam perkembangan kemudian ketika produksi teh Cina mendapat permintaan pasar di Eropa, pihak Kompeni bergiat menjalin kembali hubungan perdagangan dengan Cina. Usaha itu mendorong Kompeni membuka beberapa pelabuhan dagang di wilayahnya bagi perdagang maritim Cina pada tahun 1731. Dalam kebijaksan itu tampak bahwa kota baru ciptaan Spelman itu kembali disebut dengan Pelabuhan Makassar. Hal itu mungkin berkaitan dengan pengetahuan pedagang Cina akan nama bandar itu dengan nama Makassar dan bukan Vlardingen. Sejak itu tampak bahwa bandar Makassar mulai kembali diberi peluang bertumbuh kembali, meskipun dalam kebijakan hubungan niaga dengan Cina itu, hanya diizinkan dua jung setiap tahun untuk mengunjungi Makassar.
Perdagangan teh dan hubungan perdagangan dengan Cina itu akhirnya mendorong pemerintah Hindia Belanda, yang menggantikan kedudukan Kompeni di Indonesia, bergiat bersaing dengan pedagang Eropa lainnya, khususnya Inggeris, berusaha kembali memajukan perdagangan Makassar dengan menjadikan kota niaga itu berstatus pelabuhan bebas pada 1 Januari 1847. Kebijakan itu berhasil meningkatkan volume perdagangan Makassar dan menyaingi bandar niaga Inggeris di Singapura. (baca: Poelinggomang, 2002). Namun dalam perkembangan kemudian (1872), pemerintah Hindia Belanda memandang kemajuan Makassar itu tidak menguntungkan pemerintah kecuali bandar niaga asing lainnya. Kenyataan menunjukan semakin kurang berkembang bandar niaga Batavia, Semarang, dan Surabaya. Oleh karena itu pemerintah menghendaki perubahan status bandar Makassar dari pelabuhan bebas menjadi pelabuhan wajib pajak, namun mendapat reaksi protes berbagai pihak karena dipandang akan lebih menguntungkan bandar niaga asing lainnya.
Perkembangan dan kemajuan Makassar itu didukung oleh sejumlah faktor, antara lain: (1) letak Makassar berada di pusat dari kawasan perdagangan di kepulauan ini; (2)  posisinya berada pada jalur jaringan perdagangan dari negara-negara yang berada dibagian utara benua Asia dengan Australia yang berada di selatan, juga pada jalur pelayan dari Samudera Pasifik menuju ke Samudera Hindia; (3) pelabuhannya termasuk pelabuhan alam yang nyaman karena terlindung oleh pulau-pulau kecil yang bertebaran di depannya sehingga gelora laut pada muson barat laut tidak mengancam kapal dan perahu dagang yang berlabuh; (4) sebagian penduduk Sulawesi Selatan bergiat dalam dunia perdagangan maritim dan dikenal sebagai pelaut dan pedagang yang ulung dan cekatan. Banyak karangan yang mengungkapkan bahwa pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan yang memegang peranan penting dalam dunia perdagangan maritim pada abad ke-19.
Salah satu alasan dari kelompok yang menentang rencana pemerintah untuk membatalkan kedudukan pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan bebas itu yang dipandang sangat penting adalah bahwa jika status Makassar diubah maka pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan akan kembali memusatkan kegiatan perdagangan maritim mereka ke bandar niaga asing. Itu berarti akan melemahkan kedudukan perdagangan maritim di Hindia Belanda dan kemungkin dapat melapangkan bangsa Eropa lain masuk dan memiliki koloni di Indonesia, karena banyak kerajaan masih berkedudukan, secara de facto, kerajaan yang merdeka dan berdaulat. Oleh karena itu rencana itu ditunda hingga pemerintah dapat mengusai secara de facto wilayah kerajaan itu. Itulah sebabnya setelah pemerintah  mengusahakan perusahan pelayaran yang dapat menggantikan peran pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan dengan membangun Koninklijk Paketvaart Maatschappaij (KPM) pada 1891 dan melaksanakan ekspedisi militer Sulawesi Selatan pada 1905, baru pemerintah mengumumkan pembatalan kedudukan pelabuhan Makassar sebagai pelabuhan bebas dan menjadikan pelabuhan wajib pajak pada 1906.
Kedudukan Makassar sebagai pusat perdagangan dialihkan ke pusat perdagangan di Jawa. Untuk melayani kegiatan perdagangan ke Kalimantan dipusatkan ke Semarang dan untuk kawasan timur diembankan kepada otoritas Pelabuhan Surabaya. Sejak itu segala kegiatan ekspor dan impor harus melalui Pelabuhan Surabaya, dan Makassar diberi hadiah hanya sebagai pintu gerbang, tempat berlalunya kegiatan perdagangan ke kawasan timur Indonesia maupun ke negara asing lainnya. Selain itu untuk tidak merisaukan diberikan hadiah status kotamadya (staatsgemeente) pada April 1906, bersama empat kota lainnya yaitu: Batavia, Semarang, Surabaya, dan Medan.
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu tampak lebih mengutamakan kota pelabuhan di Jawa untuk tumbuh menjadi bandar niaga terpenting, dan bergiat menjadinya kota pelabuhan di luar Jawa sebagai penyanggah kemajuan bandar niaga itu termasuk Makassar, Banjarmasin, Ternate, Banda, Amboina, Menado dan Kema. Kota Makassar dalam perkembangan kemudian lebih difungsikan menjadi kota administrasi pemerintahan.
Kedudukan kota Makassar ini kembali mengalami perubahan nama pada tahun 1972, hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Speelman pada tahun 1669. Perbedaannya hanyalah pada luas areal kota. Jika Speelman merancang dengan memperkecil luas arel kota dan menempatkan administrasi kolonialnya pada Benteng Jungpandang (Fort Rotterdam) maka peda periode 1972 perubahan nama Makassar menjadi Ujungpandang itu didalihkan pada peluasan areal wilayah kota setelah memasukan beberapa bagian wilayah dari Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Perubahan nama itu juga didalihkan bahwa penduduk dari luar Makassar atau dari daerah-daerah yang datang ke Makassar selalu menyatakan ke Jungpandang. Tidak disadari bahwa kehendak ke Jungpandang itu berkaitan dengan urusan administrasi pemerintahan kolonial yang berpusat di Benteng Jungpandang, bukan pada kota yang telah dipulihkan namanya kembali menjadi Makassar sejak 1731. Masih terdapat lagi sejumlah argumentasi yang ditampilkan oleh pendukung perubahan nama kita itu, seperti misalnya bahwa kota Makassar yang dibangun itu dahulunya merupakan areal hutan pohon pandan, ataupun menyatakan bahwa nama itu diberikan oleh pedagang asing.
Pada sisi lain muncul pula sejumlah pemikiran yang menentang perubahan nama itu karena memandang nama itu lebih dikenal di dunia internasional daripada nama Ujungpandang. Pendapat ini pada dirinya terkandung anggapan bahwa perubahan nama itu secara sengaja untuk memudarkan ketenaran Makassar sebagai tempat yang pernah menjadi bandar transito internasional yang terkenal di kepulauan ini dan bahkan di Asia Tenggara. Selain itu juga ada yang memberikan alasan bahwa Ujungpandang itu hanya suatu areal kecil yang menjadi tempat dibangunnya Benteng Jungpandang, sementara penyebutan Makassar itu menunjukan pada pusat perdagangan yang sejak awal wilayahnya luas mulai dari Sungai Bira di bagian utara hingga Sungai Jeneberang di bagian selatan. Bahkan nama Makassar itu telah mengukir sejarah kegemilangan yang mengagungkan. Oleh karena itu terus bergiat untuk dapat kembali memulihkan nama itu pada kota yang telah diperluas dan diberi nama Ujungpandang.
Sejarah kegemilangan Makassar itu diungkapkan oleh Anthony Reid dari hasil penelitiannya yang dipublikasikan dalam jurnal RIMA pada tahun 1983 dengan judul The Rise of Makassar. Artikel ini  menambah ransangan bagi kelompok yang menghendaki nama Makassar dipulihkan. Suatu peluang tampak tertangkap oleh mereka ketika BJ Habibie menjadi presiden RI. Pemerintah Kotamadya Makassar memprakarsai sebuah seminar untuk membicarakan kembali perubahan nama Ujungpandang kembali ke Makassar di Makassar Golden Hotel (MGH). Pada seminar itu hadir juga H.M. Daeng Patompo, tokoh perintis dan pengubah nama Makassar menjadi Ujungpandang. Pada kesempatan itu ia juga mengajukan pernyataan mendukung pengubahan nama Ujungpandang kembali menjadi Kota Makassar, setelah menjelaskan secara singkat mengapa ia melakukan perubahan itu, yang konon atas desakan pemerintah pusat. Seminar itu akhirnya berhasil mencapai kesepakatan untuk mengusulkan kepada pemerintah pusat agar memulihkan nama Makassar dengan mengubah keputusan terdahulu yang menggantikan nama Makassar menjadi Ujungpandang.. Hasil keputusan seminar itu akhirnya diusung oleh tokoh-tokoh pendukung nama Makassar ke Jakarta.
Usulan untuk mengembalikan dan memulihkan nama Makassar itu mendapat persetujuan dari pemerintah sehingga akhirnya menjelang akhir tahun 1999, nama Makassar kembali bergema menggantikan nama Ujungpandang. Keputusan pemerintah itu memberikan suasana baru bagi kehidupan penduduk kota pada khususnya dan penduduk Sulawesi Selatan pada umumnya. Pemerintah kota bergiat merancang pengembangan kota ini untuk dapat menampilkan wajah yang mempesona dengan rancangan untuk menjadikan kota maritim, budaya, dan pendidikan disamping polesan pesona lain untuk menambah maraknya kegiatan kehidupan kota. Mudah-mudahan dalam perkembangan ke depan pemerintah  berkenan mengubah kebijakan perdagangan maritim dan menjadikan Makassar menjadi salah satu kota niaga dunia, sentra niaga terpenting, di samping Jakarta, Semarang, dan Surabaya dalam kegiatan perdagangan maritim.
Kedudukan Makassar paling strategik, tidak hanya dari pertimbangan jalur perdagangan maritim, tetapi juga posisi kota yang menghadap ke arah barat, terletak pada pesisir barat jazirah selatan Pulau Sulawesi, menawarkan juga panorama menjelang senjak yang indah dan menyejukan. Jerih-payah setelah menunaikan tugas pekerjaan dapat disirnahkan dengan panorama menjelang senjak di Pantai Losari, kawasan pesisir Kota Makassar. Selain itu juga memiliki potensi yang dapat mendukung kemajuannya dan itu telah terbukti dalam perjalanan sejarahnya. Kami berharap ada kebijakan yang melapangkan kemajuan Makassan untuk kembali menempati dan meraih keunggulannya menjadi kota niaga internasional.
Tinjauan Akhir
Gambaran ringkas yang diungkapkan ini menunjukan bahwa dalam proses sejarah kota ini pernah mengalami perubahan nama dua kali. Pertama, pada tahun 1669, Ketika Spelman ingin membangun Makassar menjadi pos pengaman kepentingan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Untuk maksud itu, wilayah kota diperkecil dan nama  Makassar diubah menjadi Vlardingen, agar dapat memudarkan kedudukan kota ini sebagai bandar transito internasional yang terpenting ketika itu. Karena kemajuan Makassar dipandang tidak melapangkan kebijakan monopoli perdagangan, konsep yang ketika itu tertuju pada keinginan untuk berdagang sendiri. Itulah sebabnya semua pedagang asing (Eropa dan Timur asing lainnya) diperintahkan untuk meninggalkan Makassar.
Perubahan nama kedua kalinya terjadi ketika H.M. Daeng Patompo menjadi walikota Makassar. Perubahan ini didalihkan karena wilayah kota diperluas setelah memasukan bagian dari wilayah beberapa kabupaten, yaitu Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Pangkep. Perluasan wilayah itu tampaknya dipandang dapat membuka peluang bagi pengembangan kegiatan perdagangan di Makassar, sehingga pemerintah pusat mendorong walikota Makassar untuk menggantikan nama Makassar yang dikenal sebagai bandar niaga yang pernah menyandang keberhasilan yang tiada bandingnya dalam dalam kegiatan perdagangan maritim dalam sejarah Indonesia itu menjadi Ujungpandang.
Sejarah mencatat bahwa sebelum perubahan nama pertama terjadi, Makassar adalah satu-satunya pelabuhan transito internasional yang terpenting di wilayah Asia Tenggara. Anthony Reid berkesimpulan dari hasil studinya bahwa kemajuan perdagangan Makassar merupakan kisah keberhasilan yang tiada bandingnya dalam sejarah Indonesia. Ketenaran itu diredupkan oleh kebijakan Speelman, namun kemudian nama itu kembali dimatereikan ketika mulai dibuka kembali menjadi pelabuhan niaga bagi pedagang Cina. Pada waktu semakin maraknya kegiatan perdagangan pada abad ke-19, Makassar dijadikan salah satu pelabuhan bebas pada 1 Januari 1847. Kebijakan itu memberikan peluang Makassar tampil menjadi pelabuan saingan terpenting dari kemajuan Singapura, sehingga memaksa pedagang Inggeris dan Cina di Singapura mengalihkan kegiatan perdagangannya ke Makassar .  Makassar tampil menjadi bandar niaga dunia terpenting. Oleh karena kemajuan dan keberhasilan Makassar itu dipandang tidak melapangkan Batavia, Semarang, dan Surabaya berkembang maka pemerintah kolonial membatalkan kedudukan itu pada 1906.
Pada era kemerdekaan, kota Makassar kembali mengalami perubahan nama menjadi Ujungpandang pada tahun 1972. Setelah 27 tahun kemudian kembali mengembankan nama Makassar. Mudah-mudahan nama Makassar yang berindikasi bagi kemajuan kegiatan perdagangan itu akan kembali bergema atas keinginan baik pemerintah untuk menjadikan kota pelabuhan ini bandar internasional, yang bukan hanya diberikan peluang bagi kapal-kapal asing boleh mengunjungi pelabuhan ini, tetapi juga boleh melakukan kegiatan impor dan ekspor langsung dengan dunia perdagangan internasional dan menjadi pelabuhan transito internasional, makna predikat nama Makassar yang tampak menunjukan pada kegiatan perdagangan dapat kembali meraih kegemilangannya.


Daftar Bacaan
Andaya, Leonard Y. 1981. The Haritage of Arung Palakka. A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, The Hague: Martinus Nijhoff. (VKI No. 91)

Cortesao, Amando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires and the Book of Francisco Rodriques, London: Robert Mackehose & Co Ltd.

Erkelens, B. 1897. “Geschiedenis van het Rijk Gowa”, dalam VBG, Vol ke-50

Leur, J.C. van. 1983. Indonesian Trade and Society. Essays in Asian Sociel and Economic History, Dordreecht: Foris Publication.

Noorduyn, J. 1983. “De Handelrelatie van het Makassarsche Rijks volgen de Notitie van Cornelis Speelman uit 1670”, dalam: Nederlandsche Historische Bronnen, No. 3, hal. 99-123.

Poelinggomang, 2002. Makassar Abad XIX. Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Reid, Anthony, 1983. “The Rise of Makassar”, dalam: RIMA, Vol. XVII, hal. 117-160.

Stapel, F.W. 1922. Het Bongaais Verdrag, Leiden: Disertasi Rijks Universiteit Leiden

Sutherland, H.A. 1989. “Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society in the Eighteenth Century Makassar”, dalam: Frank Broeze, ed. Brides of the Sea. Port Cities of Asia from 16th-20th Centuries, Keinsington: New South Wales University Press, hal. 97-128.
Wolhoff, G.J. dan Abdurrahim. T.thn., Sedjarah Goa. Makassar: Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Wong Lin Ken. 1961. The Trade of Singapore, 1819-1869, Singapore: The Wah Press (JMBRAS Vo. XXXIII, No. 1).


[1] Menurut catatan sejarah raja Kerajaan Tallo yang pertama, Kareng Lowe ri Sero adalah saudara kandung dari raja Gowa VII, Batara Gowa., putera dari raja Gowa VI, Tunatangkalopi (1445-1460). Kisah tentang dua kerajaan tetangga ini terdapat dua versi. Versi pertama mengkisahkan bahwa kedua putera raja ini selalu berselisi. Karena itu sebelum meninggal ia membagi wilayah kerajaannya kepada dua puteranya. Batara Gowa menjadi raja dari wilayah yang dikenal dengan Kerajaan Gowa, sementara adiknya menjadi raja atas wilayah yang kemudian disebut Kerajaan Tallo. Versi lain mengkisahkan bahwa sebelum raja mangkat ia telah berpesan agar Karaeng lowe ri Sero yang kelak menggantikannya. Ketika raja meninggal putera tertuanya, Batara Gowa bertindak merebut ornamen kerajaan (Sudanga) sehingga dewan kerajaan mengakauinya sebagai raja. Akibatnya adiknya meninggalkan kerajaan itu dan pergi menetap di Pacinnang. Katika kehadirannya itu dikethui oleh para gelarrang di wilayah Bira, empat galarang yaitu Karaeng Loe ri Bira, Karaeng Bulu Loe, Karaeng Bentang, dan Dampang ri Parangloe, bersepakat untuk menobatkannya menjadi raja. Tawaran itu diterima, sehingga mereka bergiat membangun istana kerajaan di wilayah pesisir pada muara Sungai Bira yang dikenal dengan nama hutan Tolloang. Dari nama hutan itulah kemudian kerjaan yang didirikan itu dinamakan Kerajaan Tallo,

1 komentar: