Rabu, 07 September 2011

Proposal Penelitianku


A.          Latar Penelitian
Penulisan sejarah Indonesia khususnya penulisan sejarah lokal Indonesia masih sangat kurang. Hal ini disebabkan dikarenakan sistim yang dihadapi oleh para penulis sejarah lokal sangat berbelit-belit sehingga dalam pengkajian sampai penulisan sejarah lokal selalu menghadapi berbagai macam kesulitan yang disebabkan oleh sistim pemeritahan. Dalam penulisan atau historiografi sejarah lokal sangat menarik untuk dikaji dikarenakan dalam pengkajiannya, penulis banyak mendapat pengetahuan untuk diri maupun untuk para pembaca nantinya. Oleh karenaya, maka dalam penulisan sejarah sebagai rekonstruksi dari suatu peristiwa masa lampau tidak hanya dapat dipandang dari satu aspek saja. Penulisan sejarah tidak hanya bersifat konvensional yang menguraikan tentang kejadian-kejadian besar dalam bidang politik, diplomasi, dan militer serta cerita tentang perang dan perebutan kekuasaan, tindakan, kepahlawanan maupun penghianatan.[1]
Keberadaan sejarah lokal di Indonesia masih banyak menjumpai objek kajian yang belum terungkap sehingga tampak sejarah menjadi objek-objek yang menarik di dalam penulisan sejarah. Masih banyaknya tokoh, kejadian dan keunikan di daerah yang belum terungkap, untuk itu salah satu tugas para sejarawan adalah mengadakan penelitian, pengkajian, dan penulisan sejarah lokal. Tugas seorang sejarawan adalah merekonstruksi peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan metode-metode ataupun kaidah sejarah melalui suatu historiografi yang akan selalu berinteraksi dengan fakta dan sumber-sumber pendukungnya. Dalam pengertian yang umum, seorang sejarawan melakukan hal itu untuk menyadarkan sesama mengenai masa silam.[2]
Sejak masa kemerdekaan, negara Republik Indonesia belum dapat menikmati kebebasan dikarenakan bangsa Indonesia masih harus berusaha menghentikan berbagai bentuk perlawanan yang timbul akibat ketidakpuasan dikalangan masyarakat Indonesia sendiri. Ketidakpuasan sebagian rakyat Indonesia ditimbulkan oleh berbagai macam alasan, penulis menarik satu bentuk perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan pasca kemerdekaan bangsa Indonesia yakni perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan yang menginginkan bentuk negara Indonesia berdasarkan syariat Islam yang lebih dikenal dengan nama pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh mantan pejuang nasional yaitu Abdul Kahar Muzakkar. Adapun pemberontakan lainnya terjadi di Indonesia yang terjadi dimana-mana, sebagian di otaki Belanda, sebagian karena fanatisme suku, sebagian karena kecewa dan sebagian lainnya bermotif agama.
Dalam dekade 1950-1960 banyak sekali terjadi gangguan keamanan dalam negeri yang bersumber dari munculnya gerakan kelompok bersenjata yang bercita-cita mendirikan Negara. Salah satu peristiwa itu terjadi di Sulawesi Selatan, peristiwa yang menciptakan keadaan yang tidak menentu  sejak tahun 1951 sampai pada awal tahun 1965 yang kemudian di kenal Pemberontakan DI/TII yang di pelopori oleh Abd. Kahar Muzakkar sebagai pemimpinnya. Proklamasi DI/TII Kahar Muzakkar sebagai bagian dari “Negara Islam Indonesia” Kartosoewirjo merupakan pernyataan pemberontakan terhadap kekuasaan negara yang sah, selain pembangkangan pada idiologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[3]
Gangguan keamanan yang diakibatkan oleh DI/TII yang terjadi di Sulawesi Selatan banyak menimbulkan keresahan dan ketakutan yang amat bagi masyarakat dikarenakan keamanan mereka terancam. Dampak yang ditimbulkan akibat pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan terjadi di semua bidang dan tidak hanya terjadi di wilayah Luwu yang  merupakan basis kekuatan pasukan Kahar Muzakkar tapi diseluruh wilayah Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Jeneponto sangat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang ada pada masyarakat, baik itu dari segi pelaksanaan pemerintahan daerah, ekonomi, sosial kemasyarakatan, kehidupan beragama dan yang paling utama ialah keamanan masyarakat.
Penulis dalam mengkaji tentang pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar pada tahun 1951 lebih mengarah pada dampak pemberontakan ini terhadap daerah-daerah disekitar atau yang dilewati oleh pasukan DI/TII. Oleh karena itu, penulis dalam hal wilayah memilih daerah kabupaten Jeneponto sebagai wilayah yang berada di Sulawesi Selatan dan memiliki dampak pemberontakan tersebut yang lebih spesifik berada di wilayah administrasi kecamatan Bangkala . Di mana di tempat tersebut terdapat cerita tentang keberadaan atau pernah terjadi pengaruh dari DI/TII.
Pada masa pemberontakan itu, Kecamatan Bangkala  Allu sering terjadi pembakaran rumah-rumah penduduk yang salah satunya terjadi di Distrik Bangkala tanggal 29 April 1958 yang menghanguskan 49 rumah yang di pimpin oleh Karaeng Kuneng.[4]

Pada masa tersebut, kecamatan Bangkala  Allu mengalami kerusuhan atau keresahan yang amat sangat yang disebabkan oleh gerakan DI/TII. Tepatnya pada tanggal 29 April 1958 dimana pasukan DI/TII melakukan pembakaran rumah masyarakat di wilayah distrik Bangkala yang dibawah pimpinan Karaeng Kuneng. Masyarakat sangat ketakutan dan resah sehingga banyak masyarakat mengungsi keluar dari wilayah distrik Bangkala atau kerumah kerabat yang berada di luar wilayah bangkala untuk menyelamatkan diri dari pasukan DI/TII.
Selama masa pengungsian yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Bangkala Allu untuk menghindari pasukan bersenjata dan mencari ketenangan dan keamanan, masa itu juga, para pasukan bersenjata yang berada di wilayah distrik Bangkala semakin melakukan kegiatan-kegiatannya untuk memperluas wilayah dan pengaruhya. Selain pembakaran rumah penduduk, pasukan bersenjata tersebut melakukan penyisiran guna mencari dan sekaligus menyebar pengaruhnya untuk mendapatkan pengikut-pengikut baru dalam membantu dalam mencapai maksud dan tujuannya.
Penyebaran pengaruh dan perluasan wilayah kekuasaan atau pengaruh, pasukan bersenjata tersebut sering melakukan tindakan-tindakan yang diluar batas terhadap penduduk yang daerahnya dilalui oleh pasukan bersenjata tersebut. Dalam perjalanannya, pasukan bersenjata dalam waktu yang sangat singkat dapat memperluas wilayah kekuasaannya dikarenakan wilayah-wilayah yang dilaluinya kurang mendapat perlawanan dari masyarakat. Hal ini disebabkan dalam pasukan bersenjata tersebut juga dipimpin oleh bangsawan lokal sendiri yang dulunya juga memiliki pengaruh yang cukup besar yaitu karaeng Kuneng. Dengan kondisi seperti ini, pasukan bersenjata dengan mudah dan cepat memperluas wilayahnya dan pengaruhnya dengan mudah tanpa mendapatkan perlawanan.
Penyerangan O.P.D (Operasi Pagar Desa) di Tarowang, pembongkaran jembatan, yang dilakukan oleh gerombolan bersenjata membuat masyarakat di Jeneponto terancam keselamatannya.[5]

Keresahan yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan DI/TII tidak hanya terjadi di wilayah Bangkala . Akan tetapi, hampir terjadi diseluruh wilayah Kabupaten Jeneponto seperti wilayah Tarowang, Binamu, Bungunglompoa-Bontotangnga.
Wilayah di atas tersebut, masuk dalam  naungan Afdeling Turatea dalam hal ini Jeneponto yang memiliki arti yang sangat penting bagi kapentingan kelompok gerakan bersenjata di kabupaten Jeneponto. Secara keseluruhan arti penting dari adanya suatu upaya untuk mengungkap dan mengkaji suatu peristiwa sejarah adalah bahwa kita dapat mengambil pengetahuan dan makna dari berbagai peristiwa sejarah yang telah terjadi sebagai bekal untuk menuju masa yang akan datang. Melalui pemahaman tersebut, maka penulis mencoba mengkaji Gerakan DI/TII di Jeneponto (1953-1965).

B.     Rumusan dan Batasan Masalah
Sejarah adalah pertanggungjawaban masa lampau, suatu batasan pengertian yang sangat sederhana dikemukakan oleh Huizinga. Pertanyaan Huizinga ini pada dasarnya hanya menunjukkan suatu pengertian sejarah sebagai peristiwa yaitu bukti-bukti tindakan manusia yang belum diartikan (diungkapkan dan dijelaskan). Sejarah sebagai peristwa inilah yang menjadi obyek penelitian sejarah untuk menghasilkan sejarah sebagai tulisan. Itulah sebabnya Edward H. Carr menyatakan bahwa sejarah adalah percakapan terus-menerus antara masa kini dan masa lampau, suatu hubungan yang tak henti-hentinya dilakukan antara seorang sejarawan dengan keterangan yang menyangkut kelampauan.[6]    
Berdasarkan judul dan latar belakang yang diuraikan di atas maka masalah pokok skripsi ini adalah gerakan DI/TII di Jeneponto (1953-1965). Pokok permasalahan tersebut dapat di rinci menjadi beberapa sub permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana gerakan DI/TII di Jeneponto 1953-1965.
2.      Dampak apa yang di timbulkan oleh gerakan DI/TII di Jeneponto 1953-1965.
3.      Usaha-usaha apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi Gerakan DI/TII di Jeneponto 1953-1965.
Dalam penulisan sejarah Gerakan DI/TII di Jeneponto, penulis mencoba mengolah data dengan memberikan masalah dan batasan masalah seperti di atas dengan tujuan agar dalam melakukan penelitian sampai pada tahap penulisan sejarah ini dapat terstruktur dan tidak keluar dari obyek yang di teliti. Adapun batasan masalah yang penulis maksud ialah batasan spasial dan batasan temporal berkaitan dengan judul penelitian ini yaitu “Gerakan DI/TII di Jeneponto tahun 1953-1965”, penulis menganggap gerakan DI/TII di Jeneponto sangat banyak mempengruhi aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat, baik itu dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, agama dan yang terpenting adalah keselamatan masyarakat.
Sedangkan penulis memiliki batasan Tahun kajian, tahun 1953 sampai tahun 1965 adalah merupakan batasan temporal obyek penelitian di mana pada tahun 1953 sebagai batas awal penelitian ini karena pada tahun tersebut Kahar Muzakkar memproklamirkan bahwa daerah Sulawesi Selatan dan daerah sekitarnya menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia, hal ini sesuai dengan isi proklamasi NII Sulawesi yang berlangsung pada tanggal 27 Dzulhijjah 1372 H atau 7 Agustus 1953 oleh Abdul Kahar Muzakkar.[7]

C.    Metodologi
Segala peristiwa masa lalu yang berhubungan dengan manusia di sebut sejarah. Sebagai ilmu, sejarah menempatkan obyek materialnya pada berbagai catatan tertulis dan ingatan (lisan) tentang perbuatan manusia pada masa lalu, sementara obyek formalnya ialah menelusuri, mengungkapkan, menjelaskan dan menyimak maknadari perbuatan umat manusia di masa itu.
Metode sejarah adalah proses unuk mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan masa lampau, menganalisa secara kritis yang meliputi sintesa agar menjadi penyajian dan kisah yang dapat di percaya[8] sedangkan metodologi merupakan falsafah tentang penelitian yang mencakup asumsi-asumsi nilai-nilai standar atau kriteria yang digunakan untuk menafsirkan data dan mencari kesimpulan.[9]
Dalam penelitian dan penulisan sejarah menggunakan metode sendiri yang di sebut metode historis. Metode ini khusus digunakan dalam penelitian dan penulisan-penulisan peristiwa sejarah. Dalam penerapannya metode ini mempunyai tahapan kerja yang spesifik dan merupakan ciri khas yang membedakannya dengan metode penelitian ilmu sosial lainnya. Maksud dari metode historis ini agar menghasilkan penulisan sejarah yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah kesejarahan.[10]
Metodologi dalam penulisan sejarah memegang peranan penting yaitu sebagai proses untuk mengkaji dan menguji kebenaran yang terdapat dalam sumber-sumber yang telah didapatkan dan sekaligus menganalisa secara kritis agar diperoleh suatu penyajian yang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan.
Dalam usaha mengungkapkan dan merekonstruksi obyek permasalahan ini, maka diperlukan cara kerja yang efektif agar dapat meringankan beban dan mengurangi kesulitan-kesulitan dalam penelitian. Cara kerja yang di maksud adalah dengan menerapkan metode sejarah kritis yang meliputi :
1.      Pengumpulan Data (Heuristik)
Untuk mengungkapkan aktivitas manusia masa lampau, sesuai dengan obyek studi ilmu sejarah, diperlukan sumber. Sumber itu baik berupa lisan ataupun tulisan. Agar tulisan dapat sampai ke tujuan yang diinginkan, penulis mengumpulkan sumber yang berkaitan erat dengan obyek penelitian ini  serta melakukan kunjungan ke berbagai perpustakaan untuk mencari referensi berupa buku-buku yang berhubungan dengan obyek penelitian, antara lain kunjungan ke Badan arsip dan perpustakaan daerah Sulawesi Selatan, perpustakaan wilayah Kabupaten Jeneponto, perpustakaan pusat Unhas, perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Unhas serta  laboratorium Sejarah Unhas.  Selain itu dilakukan pula wawancara dengan beberapa tokoh yang terkait dengan gerakan DI/TII di Jeneponto.

2.      Kritik sumber
Dalam kritik sumber atau verifikasi yaitu meneliti apakah sumber-sumber itu sejati, baik bentuk maupun isinya. Kritik sumber dilakukan oleh penulis dalam usaha penyaringan sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh yaitu setelah sumber-sumber tersebut dikumpulkan sebanyak-banyaknya, maka diadakan seleksi data untuk menguji kemampuan tingkat validitasnya (keasliannya) sehingga dapat diadakan pemisahan data yang dapat diterima dengan data yang masih spekulatif atau palsu dan pada akhirnya dapat diperoleh  sumber-sumber sejarah yang akurat. Tahapan kerja kritik sumber merupakan suatu usaha menganalisa data yang didapatkan, dinilai secara kritis dengan menyelidiki data yang telah dikumpulkan sehingga dapat dipisahkan antara sumber yang asli dengan sumber yang palsu. Hasil dari kritik sumber ialah penemuan fakta sejarah yang sungguh-sungguh sesuai dengan peristiwanya.

3.      Interpretasi
Pada tahap ini, penulis diharapkan memberikan tafsiran-tafsiran yang dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan sebagai bahan dalam menyusun kisah sejarah.

4.      Historiografi
Tahap ini merupakan akhir dari metode penulisan sejarah yakni dengan merangkaikan secara sistematis hasil dari interpretasi dalam bentuk kisah sejarah. Bentuk penulisan semacam inilah yang dapat memperlihatkan bukan hanya menggambarkan peristiwa semata melainkan akan menghasilkan bentuk penulisan sejarah kritis.

D.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dan dapat memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka perlu kiranya ditetapkan beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini. Disamping itu, setelah penelitian ini selesai dan disusun dalam bentuk laporan penelitian, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat memiliki manfaat tertentu baik secara teoritis maupun secara praktis.
Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini yaitu adalah:
a.       Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana gerakan DI/TII di Jeneponto.
2.      Untuk mengetahui dan menjelaskan dampak yang di timbulkan oleh gerakan DI/TII di Jeneponto 1953-1965.
3.      Untuk mengetahui dan menjelaskan usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi Gerakan DI/TII Di Jeneponto.


b.      Manfaat penelitian.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang ingin di capai yaitu:
1.      Sebagai upaya memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.
2.      Sebagai bahan pembanding bagi penulisan skripsi tentang wilayah Jeneponto selanjutnya dan sebagai bahan referensi tersendiri bagi pemerintah wilayah setempat dalam hal ini pemerintah Kabupaten Jeneponto.

E.     Karya-karya terdahulu
Untuk mendukung penulisan karya ilmiah ini penulis berusaha menggunakan teori-teori pendekatan yang melengkapi tulisan mengenai Gerakan DI/TII di Jeneponto 1953-1965. Hal ini didapatkan melalui pencarian sumber-sumber dari arsip, kepustakaan tertulis seperti buku-buku bacaan, skripsi dan tesis.
Pada penelitian kearsipan, penulis melakukannya di Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan Inventaris Arsip Statis Pemerintah Daerah Tingkat II Jeneponto yang mana ditemukan beberapa dokumen arsip Pemda Tk. II Jeneponto dengan No. Reg. 99, 100, 176, 178, 179 yang membahas masalah gerakan DI/TII di Jeneponto.
Selanjutnya penulis melakukan penelitian pustaka dari beberapa literatur yang ada seperti yang di tulis oleh Anhar Gonggong yang berjudul ”Abdul Qahhar Mudzakkar dari patriot hingga pemberontak”. Tulisan Barbara S. Harvey yang berjudul Pemberontakan Kahar Muzakkar dari tradisi ke DI/TII dan judul lainnya Permesta dimana ketiga buku ini sedikit banyak memuat tentang latar belakang pemberontakan para pendukung, usaha pemerintah dalam menyeleisakan pemberontakan sampai akibat pemberontakan DI/TII itu sendiri secara luas. Namun untuk Anhar Gonggong telah memasukkan unsur orang Bugis Makassar  yakni siri’ na passe sebagai salah satu faktor pendorong pemberontakan.
Lain halnya yang di tulis oleh C. Van Dijk yang berjudul ”Darul Islam Sebuah Pemberontakan”, tulisan ini juga membahas tentang pemberontakan Darul Islam dan pengaruh pemerintah baik sipil maupun militer dalam hubungannya terhadap pemberontakan DI/TII tersebut.
Demikian juga tulisan (skripsi) Agussalim, Gerilyawan-gerilyawan yang tersisih: Pemberontakan DI/TII Pangkajene dan Kepulauan 1950-1960, Makassar; Universitas Hasanuddin, 2001. Tulisan ini membahas Pemberontakan DI/TII di Pangkajene dan Kepulauan dari tahun 1950 sampai 1960.
Berbeda dengan tulisan (skripsi) Arsyad Galasa DI/TII di tanah Duri dan penerapan syariat Islam, Makassar; Universitas Hasanuddin, 2008. Tulisan ini membahas gerakan DI/TII di tanah Duri dan penerapan syariat Islam.
Haerul dengan tulisan (skripsi) Pemerintahan di Enrekang Masa DI/TII (1950-1965) membahas bagaimana kondisi pemerintahan Kabupaten Enrekang pada periode gerakan DI/TII 1950-1965.















Daftar Pustaka
Agusalim. 2001. Gerilyawan-gerilyawan yang tersisih: Pemberontakan DI/TII Pangkajene dan Kepulauan 1950-1960, Makassar; Universitas Hasanuddin.
Ankersmit , F.R. 1987.  Refleksi Tentang Sejarah, Jakarta: Gramedia.
Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan; Inventaris Arsip statis Provinsi Sulawesi Selatan, No. Reg. 323.
Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan; Inventaris Arsip Statis Pemerintah Daerah Tingkat II Jeneponto, No. Reg. 99.
Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan; Inventaris Arsip Statis Pemerintah Daerah Tingkat II Jeneponto, No. Reg. 178.
Carr, E.H. 1981, What Is History? Harmoundworth: Penguin Book.
Dijk , C. Van. 1995. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta. Grafitti.
Galasa , Arsyad. 2008. DI/TII di tanah Duri dan penerapan syariat Islam, Makassar; Universitas Hasanuddin,
Gonggong, Anhar. 2002.  Abdul Qahar Muzakkar dari Patriot Hingga Pemberontak. Cetakan pertama. Jakarta:  PT. Grasindo.
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta : UI Press.
Haerul. 2008. Pemerintahan di Enrekang Masa DI/TII (1950-1965), Makassar; Universitas Hasanuddin.
Harvey , Barbara Sillary. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar, Dari Tradisi Ke DI/TII.. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.
http://www.kodam-wirabuana.mil.id/index.php?module=content&id=42,  Profil dan Sejarah Singkat KODAM VII/WIRABUANA, 30 Juni 2011.
Kartodirdjo, Sartono. 1989. Melihat Sejarah Dari segi Baru, dalam Seri Soeroto, “Pemahaman Sejarah Indonesia dan Sesudah Revolusi, Jakarta : LP3ES.
Suharto , Toto.  2003. Epistemologi Sejarah (Ibnu Khaldun). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Susanto , Nugroho Noto. 1978.  Masalah penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Yayasan Hidayu.








 Seminar Pra Skripsi
           

Proposal Penelitian
GERAKAN DI/TII DI JENEPONTO
(1953 – 1965)
 







Di susun Oleh :
MULYADI
F811 04 004
ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011



[1] Sartono Kartodirdjo, “Melihat Sejarah Dari segi Baru”, dalam Soeri Soeroto, “Pemahaman Sejarah Indonesia dan Sesudah Revolusi, (Jakarta : LP3ES, 1989), hal., 64.
[2] F.R. Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1987), hal., 349.
[3]http://www.kodam-wirabuana.mil.id/index.php?module=content&id=42,  Profil dan Sejarah Singkat KODAM VII/WIRABUANA, 30 Juni 2011.

[4] Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan; Inventaris Arsip Statis Pemerintah Daerah Tingkat II Jeneponto, No. Reg. 99.
[5] Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan; Inventaris Arsip Statis Pemerintah Daerah Tingkat II Jeneponto, No. Reg. 178.
[6] E.H. Carr, What Is History? (Harmoundworth, Penguin Book, 1981), hal. 30.
[7] Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan, Arsip statis Provinsi Sulawesi Selatan, No. Reg. 323.
[8] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah terjemahan Nugroho Notosusanto (Jakarta : UI Press, 1986), hal., 200.

[9] Toto Suharto, Epistemologi Sejarah (Ibnu Khaldun). (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hal., 112.
[10] Nugroho Noto Susanto, Masalah penelitian Sejarah Kontemporer. (Jakarta: Yayasan Hidayu, 1978), hal., 10

Sabtu, 02 April 2011

Sultan Daeng Radja: Pejuang Negara Kesatuan Republik Indonesia


Oleh: Suriadi Mappangara, M.Hum.


I
Tidak banyak pejuang yang ditangkap dalam masa mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) harus dibuang atau diasingkan. Dalam sejarah panjang daerah ini, hanya pejuang-pejuang yang memiliki kharisma dan pengaruh yang besar sajalah yang diputuskan untuk dibuang jauh dari wilayah pengaruh dan kekuasaannya. Membunuh pejuang, utamanya bagi mereka yang berdarah bangsawan berisiko sangat besar karena hal itu tidak berarti mengakhiri perjuangan, malah memperbesar gerakan. Salah satu jalan yang aman adalah dengan mengasingkan mereka dari lingkungan geografis dan kulturnya. Di antara sekian banyak pejuang Sulawesi Selatan yang kemudian diasingkan karena dianggap berbahaya jika tetap berada di sekitar daerah kekuasaannya adalah Andi Sultan Daeng Radja, Karaeng Gantarang.

II
Haji Andi Sultan Daeng Raja dilahirkan  pada tanggal 20 Mei 1894, di Saoraja di Matekko Gantarang, wilayah Kabupaten Bulukumba sekarang. Beliau adalah putera dari kalangan keluarga bangsawan di Gantarang yaitu dari ayah Passari-Petta Tanra dan ibu Andi Ninnong.
Seperti halnya pada banyak anak bangsawan lainnya, sejak kecilnya ia dibekali dengan pelajaran agama dan sopan santun. Beliau termasuk anak yang mempunyai kemauan yang keras, mempunyai disiplin hidup yang tidak mudah dipengaruhi, tidak tergoyahkan oleh situasi bagaimanapun serta sangat patuh terhadap kedua orang tuanya.
Dalam masalah penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama Islam beliau betul-betul mengamalkan nilai-nilai pelajaran agama yang diterimanya. Hal ini tergambar dan mewarnai perjalanan hidup dan kehidupan beliau baik dalam menempuh kehidupan dalam karir politik maupun pemerintahan
Sebagai buktinya adanya upaya beliau mendirikan mesjid di Ponre yang terbesar di jamannya. Disamping itu dalam perjalanan hidup beliau untuk kegiatan organisasi sosial keagamaan beliau banyak memberikan darma bhaktinya, seperti pada organisasi Muhammadiyah yang sudah mulai mengembangkan sayapnya di Bulukumba masa itu. Sikap dan sepak terjang beliau terbawa dalam perjalanan hidup beliau setelah dewasa
Andi Sultan Daeng Radja  memulai pendidikan formalnya pada sekolah Goeuvernement kelas II yang diperuntukkan bagi anak-anak penduduk asli atau sekolah yang biasa disebut sekolah Melayu. Jenjangnya hanya sampai kelas III dan hanya ada pada ibukota Onder Afdeeling – onder Afdeeling pada masa itu, serta masih terbatas jumlahnya. Sekolah ini didirikan sekitar tahun 1902 dan beliau adalah termasuk murid pertama dari sekolah Gouvernement di Bulukumba, yang tentu saja ketika itu syarat penerimaan muridnya amat ketat. Setelah menyelesaikan pendidikannya, beliau kemudian melanjutkan pada Eropesche Lagere School (ELS) tipe di Bulukumba.
Pembawaan yang pintar bergaul, bukan saja menyenangkan kalangan anak-anak bumi putera tapi juga semua teman-temannya, bahkan di kalangan gurunya yang sebagian besar adalah orang-orang Belanda pun tertarik akan kepribadian beliau.
Setelah menamatkan pendidikan E.L.S. di Bulukumba dari kalangan bekas gurunyalah yang banyak memberikan bantuan dan garansi (jaminan) untuk memasuki pendidikan khusus buat anak-anak orang Belanda dan anak-anak Eropa lainnya di samping prestasi belajar yang memang memuaskan.
Pada tahun 1907 beliau menamatkan pendidikan. Pada tahun 1908 beliau menuju Makassar untuk memasuki suatu sekolah yang merupakan kursus yaitu Opleiding Cursus Voor Inlandsche Ambtenarent (kemungkinan sejenis kursus Pegawai bumi putera) sederajat/tingkat lanjutan Menengah Pertama.
Pada tahun 1910 berkat ketekunan dan semangat pantang surut, beliau berhasil menyelesaikan pendidikannya. Pada tahun yang sama, beliau memasuki “OSVIA” masih tetap di Makassar waktu itu dengan tekad yang membaja. Kelas demi kelas dilaluinya dengan prestasi belajar yang meyakinkan sehingga beliau menjadi murid yang disenangi oleh guru-gurunya.
 Pada masa sekolah inilah beliau mendapat banyak bekal ilmu buat masa depannya utamanya dalam memenuhi karier dibidang politik dan pemerintahan. Pada tahun 1913 beliau menamatkan pelajarannya dengan hasil yang memuaskan. Karena lanjutan sekolah ini sudah tidak ada di Makassar maka beliau memutuskan untuk menjadi pegawai.
setelah menunggu beberapa bulan, beliau diangkat sebagai pegawai dengan besluit Gubernur Sulawesi tertanggal 19 Januari 1914, Nomor 251/ 5 dengan jabatan juru tulis di Makassar. Gaji pokok beliau ketika itu f. 25 (Rp. 25,-). Jadi beliau diangkat menjadi pegawai pada usia 20 tahun, suatu usia yang masih agak muda untuk jabatan seperti itu.
Hanya beberapa bulan, kemungkinan karena beliau menunjukkan  prestasi kerja yang luar biasa serta disiplin kerja yang amat tinggi, beliau diusulkan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Dengan besluit Gubernur Sulawesi tertanggal 27 November 1914 bernomo r6934/B/I beliau diangkat menjadi Ajunct Jaksa (Calon Jaksa) diperbantukan pada Inl Off Justitie di Makassar. Jabatan calon jaksa bagi anak bumiputera masih terhitung sangat langka masa itu. Oleh karena prestasi kerja yang sangat baik, berdasarkan Besluit Gubernur Sulawesi tanggal 18-12 1914 Bernomor 7313/C.I beliau diangkat sebagai juru tulis pada Gubernur Sulawesi dengan gaji pokok f.  45.
Pada tanggal 7 Januari 1915 yaitu beberapa bulan kemudian terbit lagi besluit Gubernur yang bernomor 114/C.1. untuk pengangkatan beliau menjadi Eurep Klerk pada Kantor Assisten Residen Bone di Pompanua. Dengan pengangkatannya mulailah karir beliau diluar wilayah Kota Makassar yang selama ini beliau tempati menuntut ilmu untuk pendidikan lanjutan dan sekaligus merupakan tempat pertama sekali beliau mengabdikan diri bagi nusa dan bangsanya.
Setelah bertugas beberapa di Bone, beliau dipindahkan  ke Sinjai. Sehubungan dengan keluarnya bisluit Gubernur Sulawesi tertanggal 13-6-1916 Nomor/C.1. dengan penempatan pada Kantor Contorleur Sinjai sebagai klerk. Tahun 1916 tepatnya tanggal 12-7-1916 keluar penetapan/besluit Gubernur Sulawesi Nomor 141/C.1. mengangkat beliau menjadi Hulppest Commis di Sinjai (pembantu atau calon Kommis-Pen) dengan gaji f. 55 (lima puluh lima gulden).
Dari Sinjai beliau dipindah tugaskan ke Takalar oleh Gubernur Sulawesi dengan surat keputusannya tertanggal 13 Desember 1916 Nomor 1744/C.1. sebagai Onder Collecteur Onder Afdeling Takalar dengan gaji pokok f. 75.
Rupanya penempatannya di takalar tidak memakan waktu lama hanya kira-kira setahun, kemudian beliau dipindahkan ke Onder Afdeling Enrekang dengan keputusan Gubernur Sulawesi tertanggal 23 November 1919 Nomor 1880/C.1. sebagai Collecteur dengan gaji poko f. 100. Di tempat ini pula beliau menerima  tugas lagi menjadi Deurwoorder Raad Van Justisie Makassar untuk perkara dalam Onder Afdeeling Enrekang dengan penetapan Gubernur Sulawesi tertanggal 25-3-1918 Nomor 11/B.II. dan gaji pokok f. 100. Beberapa bulan kemudian,  beliau mendapat tugas baru ke daerah Campalagian (Mandar) sebagai Inlandshe Besteur Assistant, jabatan ini dipangkunya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tertanggal 12-8-1918 Nomor 238/C.2.
Pada tanggal 2-4-1921, diterbitkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 81/III, beliau diangkat menjadi Wakil Kepala Adat gemeenschap Gantarang dengan gaji okok f. 225. Di samping jabatannya sebagai wakil Kepala Adat gemeenschap Gantarang rupanya kepada beliau juga dipercayakan suatu jabatan sebagai Lead Landraad di Bulukumba, pengangkatan ini dikukuhkan oleh Bisluit Gubernur Sulawesi tertanggal 15-11-1921 Nomor 14.
Kedua jabatan yang diserahkan padanya ini di embannya dengan baik, denganpenuh rasa tanggung jawab, serta integritas yang tinggi sambil menunggu saat pemilihahn Kepala Adat gemeenschaap di Gantarang.
Pada waktu diadakan pemilihan untuk menjadi Kepala adat gemeenschaap, beliau terpilih secara bulat oleh Ade Duapulo. Sebagai realisasi dari hasil keputusan “Ade’ duapulo” (Adat duapuluh) keluarlah bisluit Gubernur Sulawesi tertanggal 29-9-1992 Nomor 294/III berupa penetapan dan pengukuhan Bapak Haji Sultan Daeng Radja sebagai Kepala Adat gemeenschaap Gantarang dengan gelar Karaeng Gantatrang. Beliau dilantik oleh “Ade’ duappulo” setelah keluarnya penetapan Gubernur Sulawesi pada tanggal 29-9-1922. Pada waktu itu usia beliau 28 tahun.
Setelah pelantikan oleh Ade’ duappulo (Adat duapuluh) maka resmilah pula Bapak Haji Andi Sultan Daeng Raja sebagai Karaeng Gantarang. Petama-tama yang dipikirkan oleh beliau adalah meningkatkan  taraf hidup rakyat dengan pembuatan pengairan, pembuatan saluran pengairan baru, pencetakan sawah-sawah baru.
Selanjutnya yang menjadi perhatian beliau adalah perbaikan sistem kepercayaa rakyatnya yang masih di pengaruhi oleh kepercayaan aslim dengan menyebarkan ajaran agama Islam secara meluas, tempat-tempat ibadah (mesjid) pada masa pemerintahahnnya banyak yang dibangun, antara lalin mesjid tertua di Ponre yang sampai sekarang masih ada, mesjid ini dibangun dengan bekerja samam para pemuka agama seperti Haji Achmad dan lain-lain. Pada pekarangan belakang mesjid ini pula, beliau di makamkan sesuai dengan pesannya.
Pada masa pemerintahan beliau organisasi Muhammadyah di Gantarang mendapat sumbangan serta fasilitas untuk berkembang, bahkan beliau termasuk anggota yang paling setia.
Disamping hal-hal seperti diatas maka tentu saja perbaikan sistim pemerintahan tidak luput dari perhatiannya sebagai kunci keberhasilan beliau dalam melaksanakan gagasan-gagasan pembaharuannya yang meliputi seluruh segi kehidupan masyarakat Gantarang.
Pada tanggal 10-10-1938, keluar Keputusan dari Gubernur Sulawesi untuk pengangkatan beliau sebagai Ajun Jaksa Landraad Bulukumba disamping jabatannya sebagai Karaeng Gantarang. Pada tanggal 6-9-1930 beliau diangkat menjadi Jaksa di Bulukumba oleh Gubernur Sulalwesi dengan Surat Keputusan Nomor 272/B.3. tanpa dibebaskan dari tugasnya sebagai Karaeng.
Berdasarkan Surat Keputusan Land Rechter Bonthain tertanggal 2-1-1930 Nomor 1. beliau diangkat menjadi substituut fiscal Greffeiar dalam resort Landrechter Bulukumba disamping jabatan beliau sebagai Karaeng Gantarang tetap dipegangnya.
Demikianlah jabatan-jabatan resmi beliau yang dijabatnya sampai mendaratnya Jepang pada tahun 1942.

III
Pada bulan Agustus 1945 Bapak Haji Andi Sultan Daeng Raja beserta Andi Pangerang Daeng Rani dan Dr. G.S.S.J. Ratulangi berangkat ke Jakarta sebagai anggota missi Sulawesi yang akan mengikuti sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Sidang-sidang dari panitia tersebut diikuti beliau secara aktif yang akhirnya menelorkan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dihadiri oleh 31 orang pemimpin-pemimpin Indonesia antara Lain :
1.      Ir. Sukarno
2.      Drs. Moh. Hatta
3.      Mr. Acmad Subarjo
4.      Dr. Rajiman Wediodiningrat
5.      M. Sutaryo Kartohadikusumo
6.      Mr. Iwa Kusuma Sumantri
7.      Abikusno Cokrosuyoso
8.      Dr. Buntaran Martoatmojo
9.      R. Otto Iskandardinata
10.  Prof. Dr. Supomo
11.  Sukarjo Wiryopranoto
12.  Ki Hajar Dewantara
13.  Ki Bagus Hadikusumo
14.  Dr. G. S. S. J. Ratulangi
15.  Mr. Johannes Latuharhary
16.  Mr. I Gusti Ketut Puja,
17.  Dr. Syamsi
18.  Dr. Amir
19.  Mr. Teuku Hasan
20.  Mr. A. Abas
21.  Hamidhan
22.  R.A R i v a i
23.  Andi Pangerang
24.  Andi Sultan Daeng Radja
25.  Sudiro (mbah)
26.  Sukarni
27.  Chaerul Cokroaminoto,        Saleh
28.  Harsono Cokroaminoto
29.  B. M. Diah
30.  Sayuti Melik
31.  Semaun Bakri,
Jadi Bapak Haji Andi Sultan Daeng Raja termasuk salah seorang pencetus ikrar luhur bangsa Indonesia yang melahirkan Indonesia merdeka ini.
Beliau turut menghadiri detik-detik paling bersejarah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, yaitu pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan keseluruh penjuru dunia di Gedung Pegangsaan Timur No. 56, tanggal 17-8-1945.
Tentu saja peranan dan andil beliau dalam lahirnya Republik ini tidak dapat disangsikan lagi.
IV
Setelah kembali dari Jakarta, Andi Sultan Daeng Raja beserta delegasi lainnya menyebarkan berita proklamasi. Kehadiran beliau di Bulukumba mendapat sambutan yang luar biasa. Meskipun demikian pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik karena Dr. Ratulangi tidak dapat melaksanakan amanah yang diberikan. Situasi di Makassar khususnya, tidak kondusif. Jepang yang telah kalah perang tidak memberi peluang yang cukup besar bagi Ratulangi untuk bertindak. Keadaan yang demikian ini mendorong para bangsawan di daerah ini untuk memberi dukungan penuh agar Ratulangi mengambil alih pemerintahan.
Pada akhir bulan Agustus 1945 diselenggarakan rapat bersama pemimpin-pemimpin rakyat. Hasil pertemuan itu adalah terbentuknya staf Gubernur Sulawesi. Tidak lama kemudian dibentuk pula “Dewan Penasehat” untuk menata hubungan antara staf gubernur dan pemerintahan daerah. Dalam Dewan Penasehat ini Andi Mappanyukki ditunjuk sebagai Ketua Dewan Penasehat dan sebagai wakilnya ditunjuk Dr. Ratulangi. Selain itu pula untuk memberi dukungan penuh kepada Dr. Ratulangi agar tidak ragu dalam berhubungan dengan anasir-anasir asing, Andi Mappanyukki melakukan rapat dengan Dewan Hadatnya. Rapat itu dilaksanakan pada bulan September dan memutuskan dua hal penting, yaitu:
1.                      Tetap berdiri di belakang pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno – Hatta, dan
2.                      Bersedia bekerjasama dengan tentara Sekutu yang bertugas di Sulawesi, tetapi tidak dengan NICA.

Kedatangan NICA membuat keadaan semakin tidak menentu. Dr. Ratulangi yang tidak memiliki perangkat yang kuat, tidak dapat bertikdak tegas kecuali lewat diplomasi. Melihat keadaan yang demikian ini, para bangsawan di Sulawesi Selatan kemudian melakukan pertemuan di kediaman Andi Mappanyukki. Mereka melakukan perundingan untuk mengambil sikap atas ulah NICA yang semakin tidak bersahabat. Pertemuan itu sendiri berlangsung pada tanggal 15 September 1945. Pertemuan itu dihadiri oleh Andi Makkasau, Maradia Campalagiang, Ibu Depu (Maradia Balnipa), Arung Gilireng, Karaeng Polombangkeng, karaeng Gantarang (Andi Sultan Daeng Radja). Dalam pertemuan itu dicetuskan satu resolusi yang isinya mendukung pemerintahan Republik Indonesia hasil proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan mendukung sepenuhnya dr. Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi. Resolusi ini disampaikan kepada Brigjen Iwan Dougherty.
Apa yang dialami oleh Andi Sultan Daeng Raja ketika mengikuti rapat-rapat dalam mempersiapkan naskah Proklamasi kemerdekaan dan juga mengikuti detik-detik Proklamasi kemerdekaan, memberi kesan yang sangat mendalam dalam hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu adalah sesuatu yang sangat wajar ketika beliau kembali ke Sulawesi berita kemerdekaan itu disampaikan kepada siapa saja. Bukan berita itu saja yang menjadi tekanannya, tetapi intinya adalah bagaimana hidup dan kehidupan bangsa ini tidak lagi diinjak-injak oleh bangsa lain. Oleh karena itu kehadiran kembali Belanda telah ditolak dengan mentah. Tidak ada kata kompromi dalam mempertahankan kemerdekaan.
Selain membangun kerjasama yang erat di antara lraja-raja dan kelompok bangsawan, beliau juga tidak henti-hentinya membangun semangat para pemuda untuk tetap tegar dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan. Pernyataan-pernyataan yang dibangun diantara bangsawan-bansawan di wilayah ini telah memicu munculnya kelaskaran-kelaskan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Usaha-usaha yang semakin meluas yang dilakukan oleh Sekutu dan juga angin segar yang diberikan Sekutu kepada Belanda,telah membuat para pemimpin rakyat di daerah ini semakin gencar melakukan perlawanan. Perlawanan tidak saja dibangun lewat perlawanan dengan taktik gerilya, tetapi juga dilakukan lewat perundingan-perundingan dan pernyataan-pernyataan yang dapat membangkitkan semangat para pejuang. Peran yang dilakukan oleh kelompok bangsawan ini telah menjadi pondasi yang kuat sehingga perlawanan itu dapat berlangsung dengan cukup lama dan akhirnya membuahkan hasil.
            Pada tanggal 1 Desember 1945 dilaksanakan satu pertemuan raja-raja di Watampone. Pertemuan itu sendiri sebagai tindak lanjut pertemuan yang pernah dilakukan di kediaman rumah Sultan Daeng Raja. Dalam pertemuan yang berlangsung di kediaman Andi Sultan Daeng Radja telah diputuskan bahwa akan dilaksanakan pertemuan berkala untuk memberi dukungan bahwa rakyat Sulawesi Selatan berada di belakang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Menindak lanjuti pertemuan itu dan juga mengantisipasi gelagat yang semakin meluas tentang tindak tanduk Sekutu dan Belanda, akhirnya atas inisiatif Raja Bone dilakukanlah pertemuan raja-raja di Watampone. Pertemuan itu dihadiri hampir seluruh raja-raja di Sulawesi Selatan. Pertemuan itu kemudian menghasilkan putusan yang memperkuat sikap selama ini, yaitu tetap berdiri di belakang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan tidak sudi berhubungan dengan NICA.
            Sikap yang semakin terbuka yang diperlihatkan oleh raja-raja di Sulawesi ini akhirnya memaksa Sekutu dan NICA mengambil tindakan yang lebih tegas. Sehari setelah perundingan itu dilakukan, pihak tentara Australia kemudian memutuskan untuk menangkap Sultan Daeng Raja. Pada tanggal 2 Desember 1945 Andi Sultan Daeng Radja ditangkap di rumah kediamannya.
            Perjuangan Andi Sultan Daeng Raja untuk mempertahankan kemerdekaan tidak surut. Lewat kunjungan yang dilakukan oleh keluarganya beliau tetap menyampaiakan kepada keluarga dan pemuda-pemuda di Bulukumba untuk tetap tegar. Oleh karena pengaruh beliau tidak surut, maka diputuskan untuk di bawa ke Makassar.
            Setelah kurang lebih dua tahun berada ditahanan KIS di  Makassar, karena khawatir akan tindak tanduknya, akhirnya pada tanggal 17 Maret 1949 Andi Sultan Daeng Radja diasingkan di Menado.

V
Pada tanggal 8 Januari 1950 Andi Sultan Daeng Radja di bebaskan. Pembebasan beliau disambut gembira masyarakat Bulukumba yang masih menganggapnya sebagai Karaeng Gantarang. Perjuangan beliau untuk tetap mempertahankan negara kesatuan diperlihatkan ketika ia bersama beberapa raja di Sulawesi Selatan melakukan kunjungan ke Yogyakarta sebagai tanda bahwa rakyat Sulawesi Selatan menginginkan terwujudnya negara kesatuan.